Sabtu, 10 Desember 2016

Masa Pergolakan Sastra Indonesia Tahun 1945-1965



 Surat Kepercayaan Gelanggang
Sudah diketahui umum bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa sejarah yang amat penting bagi bangsa karena dengan memontum itulah terbentuk atau berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tujuan mulia seperti tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Berbagai kisah awal revolusi Indonesia yang sudah ditulis banyak orang pastilah dibaca generasi sekarang agar diperoleh gambaran historis mengenai berbagai peristiwa dimasa awal revolusi, termasuk perubahan yang terjadi dibidang sastra.
Dari Krazt (1988a:32-33) diperoleh catatan majalah yang terbit pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan adalah Arena, Gelanggang, Media, Panji Masyarakat, Genta, Pedoman Masyarakat, Panji Islam, Api, Gema Islam, Hikmah, Suara MIAI, Basis (Yogyakarta), Liberty (Surabaya), dan Waktu (Medan). Seperti halnya kelompok Pujangga Baru yang telah berpolemik megenai konsep kebudayaan Indonesia baru, para seniman dan budayawan pada masa awal revolusi pun sempat memikirkan konsep kebudayaan Indonesia sebagai landasan pemikiran. Mereka tidak lagi berpolemik, tetapi sempat merumuskan suatu konsep yang kemudian terkenal dengan sebutan “Surat Kepercayaan Gelanggang” itu diumumkan dalam ruang kebudayaan “Gelanggang” dalam majalah Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rival Apin, sedangkan pimpinan majalahnya adalah Rosihan Anwar.

Lembaga Kebudayaan Rakyat
Semangat membangun kebudayaan Indonesia yang terkuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ternyata terdesak oleh perubahan yang deras dibidang sosial, budaya, dan politik.Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada akhir tahun 1949 tidak dengan sendirinya menyelesaikan berbagai krisis kehidupan bangsa yang memang sedang bergolak.Penerapan demokrasi liberal dengan sistem kabinet parlementer tidak membuahkan hasil yang menggembirakan karena yang terjadi adalah krisis dengan pergantian pedana menteri yang jarak waktunya pendek-pendek sehingga tidak produksi dibidang pemerintahan.Krisis itu kemudian diakhiri dengan Deklit Presiden 5 Juli 1959 dengan prinsip Undang-Undang Dasar 1945.
Lekra didirikan lima tahun setelah pecah revolusi Agustus, disaat revolusi tetahan oleh rintangan hebat berupa persetujuan Konferensi Meja Bundar. Lekra didirikan untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut karena menyadari tugas revolusi bukan hanya milik kaum politisi, tetapi juga tugas pekerja kebudayaan.Kehadirannya merupakan reaksi terhadap realitas politik kultural yang mencemaskan dan mengusahakan pengucapan kebudayaan, khususnya sastra, berdasarkan realitas yang sedang berkembang dan harus dipertanggungjawabkan secara politik.
Sementara itu, sejumlah pengarang yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Lekra adalah A. Kohar Ibrahim, Agam Wispi, Amarzan Imail Hamid, B.A. Simanjuntak, Dodong Djiwapradja, F.I. Risakota, Hadi S., Kuslan Budiman, Kusni Sulang, Rijono Pratikto, S. Anantaguna, S. Rukiah, S. Wisnu Kuntjahjo, Sobro Aidit, Sugiarti Siswadi, Zubir A.A, Hadi S, dan lain-lain. Keberpihakan itu merupakan salah satu pilihan yang mendesak agar dapat berhadap serangan Lekra.Situasi politik pada waktu itu menyulitkan orang untuk bersikap independen atau nonpartisan.Namun, masih banyak pengarang dan cendekiawan yang bertahan independen melalui mejalah bulanan Kisah sebagai penerbit sastra yang mengutamakan cerita pendek.

Majalah Kisah
Majalah kisah menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama kali mengutamakan cerita pendek (cerpen).Dewan redaksinya adalah Sudjati S.A., H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat bertahan hampir lima tahun, mulai Juli 1953 hingga Maret 1957 dan berhasil menjadi tolak ukur kepengarangan seseorang. Tidak lama kemudian terbit juga majalah Prosa (1955), Seni (1955), Budaya (1953-1962), Konfrontasi (1954-1962), dan Kompas (1951-1955).Semua itu merupakan ajang kreativitas para pengarang yang terus bermunculan.Diantara mereka terbukti menjadi pengarang-pengarang terkemuka pada belasan tahun kemudian. Seperti A.A. Navis, Ajip Rosidi, Iwan Simantupang, Motinggo Busye, Nh. Dini, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardoyo, dan Rendra.
Tentu saja data singkat seperti itu masih dapat diperpanjang dengan sejumlah nama yang telah tercatat sejumlah sumber. Akan tetapi, hal itu lebih tepat dikembangkan dan diperdalam para pembaca (peneliti, kritikus) yang meminati masalah pergolakan budaya pada tahun 1960-an. Ada pun juga yang telah terjadi pada masa itu akan tampak baru apabila dikaji kembali dalam perspektif sejarah, tidak kecuali masalah Manifes Kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. PT. Grasindo: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar