Surat
Kepercayaan Gelanggang
Sudah diketahui umum bahwa
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa sejarah yang amat
penting bagi bangsa karena dengan memontum itulah terbentuk atau berdiri Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan tujuan mulia seperti tertulis dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Berbagai kisah awal revolusi Indonesia yang
sudah ditulis banyak orang pastilah dibaca generasi sekarang agar diperoleh
gambaran historis mengenai berbagai peristiwa dimasa awal revolusi, termasuk
perubahan yang terjadi dibidang sastra.
Dari Krazt (1988a:32-33) diperoleh
catatan majalah yang terbit pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan
adalah Arena, Gelanggang, Media, Panji Masyarakat, Genta, Pedoman Masyarakat,
Panji Islam, Api, Gema Islam, Hikmah, Suara MIAI, Basis (Yogyakarta), Liberty
(Surabaya), dan Waktu (Medan). Seperti halnya kelompok Pujangga Baru yang telah
berpolemik megenai konsep kebudayaan Indonesia baru, para seniman dan budayawan
pada masa awal revolusi pun sempat memikirkan konsep kebudayaan Indonesia
sebagai landasan pemikiran. Mereka tidak lagi berpolemik, tetapi sempat
merumuskan suatu konsep yang kemudian terkenal dengan sebutan “Surat
Kepercayaan Gelanggang” itu diumumkan dalam ruang kebudayaan “Gelanggang” dalam
majalah Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rival Apin, sedangkan pimpinan
majalahnya adalah Rosihan Anwar.
Lembaga
Kebudayaan Rakyat
Semangat membangun kebudayaan
Indonesia yang terkuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ternyata terdesak
oleh perubahan yang deras dibidang sosial, budaya, dan politik.Pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia pada akhir tahun 1949 tidak dengan sendirinya
menyelesaikan berbagai krisis kehidupan bangsa yang memang sedang bergolak.Penerapan
demokrasi liberal dengan sistem kabinet parlementer tidak membuahkan hasil yang
menggembirakan karena yang terjadi adalah krisis dengan pergantian pedana
menteri yang jarak waktunya pendek-pendek sehingga tidak produksi dibidang
pemerintahan.Krisis itu kemudian diakhiri dengan Deklit Presiden 5 Juli 1959
dengan prinsip Undang-Undang Dasar 1945.
Lekra didirikan lima tahun setelah
pecah revolusi Agustus, disaat revolusi tetahan oleh rintangan hebat berupa
persetujuan Konferensi Meja Bundar. Lekra didirikan untuk mencegah kemerosotan
lebih lanjut karena menyadari tugas revolusi bukan hanya milik kaum politisi,
tetapi juga tugas pekerja kebudayaan.Kehadirannya merupakan reaksi terhadap
realitas politik kultural yang mencemaskan dan mengusahakan pengucapan
kebudayaan, khususnya sastra, berdasarkan realitas yang sedang berkembang dan
harus dipertanggungjawabkan secara politik.
Sementara itu, sejumlah pengarang
yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Lekra adalah A. Kohar Ibrahim,
Agam Wispi, Amarzan Imail Hamid, B.A. Simanjuntak, Dodong Djiwapradja, F.I.
Risakota, Hadi S., Kuslan Budiman, Kusni Sulang, Rijono Pratikto, S.
Anantaguna, S. Rukiah, S. Wisnu Kuntjahjo, Sobro Aidit, Sugiarti Siswadi, Zubir
A.A, Hadi S, dan lain-lain. Keberpihakan itu merupakan salah satu pilihan
yang mendesak agar dapat berhadap serangan Lekra.Situasi politik pada waktu itu
menyulitkan orang untuk bersikap independen atau nonpartisan.Namun, masih
banyak pengarang dan cendekiawan yang bertahan independen melalui mejalah
bulanan Kisah sebagai penerbit sastra yang mengutamakan cerita pendek.
Majalah Kisah
Majalah kisah menjadi penting
dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama
kali mengutamakan cerita pendek (cerpen).Dewan redaksinya adalah Sudjati
S.A., H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat
bertahan hampir lima tahun, mulai Juli 1953 hingga Maret 1957 dan berhasil
menjadi tolak ukur kepengarangan seseorang. Tidak lama kemudian terbit juga
majalah Prosa (1955), Seni (1955), Budaya (1953-1962), Konfrontasi (1954-1962),
dan Kompas (1951-1955).Semua itu merupakan ajang kreativitas para pengarang
yang terus bermunculan.Diantara mereka terbukti menjadi pengarang-pengarang
terkemuka pada belasan tahun kemudian. Seperti A.A. Navis, Ajip Rosidi, Iwan
Simantupang, Motinggo Busye, Nh. Dini, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardoyo,
dan Rendra.
Tentu saja data singkat seperti
itu masih dapat diperpanjang dengan sejumlah nama yang telah tercatat sejumlah
sumber. Akan tetapi, hal itu lebih tepat dikembangkan dan diperdalam para
pembaca (peneliti, kritikus) yang meminati masalah pergolakan budaya pada tahun
1960-an. Ada pun juga yang telah terjadi pada masa itu akan tampak baru apabila
dikaji kembali dalam perspektif sejarah, tidak kecuali masalah Manifes
Kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Yudiono
K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia. PT. Grasindo: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar