Rahardjo (1991) menguraikan dengan berangkat dari
teori belajar diketahui bahwa hakekat belajar adalah interaksi antara peserta
didik yang belajar dengan sumber-sumber belajar di sekitarnya yang memungkinkan
terjadinya perubahan perilaku belajar dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa
menjadi bisa, tidak jelas menjadi jelas, dsb. Sumber belajar tersebut dapat berupa pesan, bahan, alat, orang, teknik dan
lingkungan. Proses belajar tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan
eksternal.
Faktor internal seperti sikap, pandangan hidup,
perasaan senang dan tidak senang, kebiasaan dan pengalaman pada diri peserta
didik. Bila peserta didik apatis, tidak senang, atau menganggap buang waktu
maka sulit untuk mengalami proses belajar. Faktor eksternal merupakan
rangsangan dari luar diri peserta didik melalui indera yang dimilikinya,
terutama pendengaran dan penglihatan. Media pembelajaran sebagai faktor
eksternal dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi belajar karena
mempunyai potensi atau kemampuan untuk merangsang terjadinya proses belajar.
Contohnya, (a) menghadirkan obyek langka: koleksi mata uang kuno, (b) konsep
yang abstrak menjadi konkrit: pasar, bursa, (c) mengatasi hambatan waktu,
tempat, jumlah dan jarak: siaran radio atau televisi pendidikan, (d) menyajikan
ulangan informasi secara benar dan taat asas tanpa pernah jemu: buku teks,
modul, program video atau film pendidikan,. (e) memberikan suasana belajar yang
santai, menarik, dan mengurangi formalitas.
Edgar Dale dalam Rahardjo (1991) menggambarkan
pentingya visualisasi dan verbalistis dalam pengalaman belajar yang disebut
“Kerucut pengalaman Edgar Dale” dikemukakan bahwa ada suatu kontinuum dari
konkrit ke abstrak antara pengalaman langsung, visual dan verbal dalam
menanamkan suatu konsep atau pengertian. Semakin konkrit pengalaman yang
diberikan akan lebih menjamin terjadinya proses belajar. Namun, agar terjadi
efisiensi belajar maka diusahakan agar pengalaman belajar yang diberikan
semakin abstrak (“go as low on the scale as you need to ensure learning, but go
as high as you can for the most efficient learning”).
Raharjo (1991 menyatakan bahwa visualisasi mempermudah
orang untuk memahami suatu pengertian. Sebuah pemeo mengatakan bahwa sebuah
gambar “berbicara“ seribu kali dari yang dibicarakan melalui kata-kata (a
picture is worth a thousand words). Hal ini tidaklah berlebihan karena sebuah
durian “monthong” atau gambarnya akan lebih menjelaskan barangnya (atau
pengertiannya) daripada definisi atau penjelasan dengan seribu kata kepada
orang yang belum pernah mengenalnya. Salah satu dari sarana visual yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan belajar mengajar tersebut adalah OHT atau “overhead
transparency.“ Sarana visual seperti OHT ini bila digarap dengan baik dan
benar. Di samping dapat mempermudah pemahaman konsep dan daya serap belajar
siswa, juga membantu pengajar untuk menyajikan materi secara terarah, bersistem
dan menarik sehingga tujuan belajar dapat tercapai. Inilah manfaat yang harus
dioptimalkan dalam pembuatan rancangan media seperti OHT ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gntrdwprst. [2013]. Perbedaan Media dan Alat Peraga.
[Online]. Tersedia: https://gntrdwp.wordpress.com/2013/02/18/perbedaan-media-dengan-alat-peraga/. [9
Desember 2016].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar