Majalah Horizon
Setelah
melewati bulan-bulan keterngan untuk penumpasan PKI masa pada bulan Juli 1966
mulailah kegiatan budaya berupa penerbitan majalah Horison di bawah pimpinan
Mochtar Lubis, sedangkan redaksinya adalah H.B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail,
Soe Hok Djin, dan D.S. Moeljanto. Penerbitnya adalah Yayasan Indonesia adalah
mengembalikan krisis budaya uang telah terjadi selama belasan tahun dengan
harapan tumbuh semangat baru untuk memperjuangkan demokrasi dan martabat
manusia Indonesia.Nama Horizon yang berarti ‘kaki langit’ atau ‘cakrawala’ itu
merupakan simbol pencarian horison baru untuk menghapuskan batas-batas
pemikiran, telaah, dan kreativitas disemua bidang kehidupan. Majalah tersebut
mengajak masyarakat meninggalkan ruang sempit yang telah mengungkung jiwa
masyarakat selama puluhan tahun sehinhha memeperoleh kehidupan baru yang lebih
segar dan terbatas dari kekuasaan yang monolitik. Majalah Horison mengutamakan
sastra (cerita pendek, sajak, kritik, dan esai) dengan kesadaran penuh bahwa
bidang sastra berkedudukan strategis sebagai pendorong kreativitas pemikiran,
baik perseorangan maupun antarbangsa.
Sastra
dan H.B. Jassin
Majalah sastra diterbitkan pertama
kali pada 1 Mei 1961 dan berjalan hingga Maret 1964 dengan tokoh-tokoh
dijajaran redaksi tercatat H.B. Jassin, M. Balfas, D.S. Moeljanto, Ekana
Siswojo, Toha Mohtar, Tatang M., Zaini, A. Wakidjan, dan Ipe Ma’ruf. Sejak
pertama kali majalah tersebut sudah menjadi bulan-bulanan, hasutan dan fitnahan
kelompok Lekra yang berkehendak segala kegiatan kebudayaan, termasuk sastra,
berada dibawah pengaruh dan kekuasaannya. Tekanan itu semakin keras setelah
deklarasi Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 sehingga majalah Sastra
terpaksa berhenti terbit setelah edisi Maret 1964. Baru tiga tahun kemudian,
tepatnya pada November 1967 Sastra diterbitkan lagi dengan tokoh-tokoh redaksi.
Wajar apabila mereka berharap Sastra akan terbit sejalan dengan Horison karena
telah memiliki suatu komunitas yang kukuh. Akan tetapi, penerbitannya hanya
berlangsung hingga Oktober 1969, kemudian terpaksa berhenti terbit pula karena
kasus pemuatan cerpen “Langit Makin Mendung” karang Kipandjkusmin dalam edisi
Agustus 1968.Dua puluh tahun kemudian, terhadap kasus tersebut Rachmat Djoko
Pradopo berpendapat bahwa pelarangan karya sastra bukan hanya terjadi sekarang,
tetapi sudah pernah berlaku pada sekian abad yang silam.
Pusat
Bahasa
Sejarah
perkembangan sastra Indonesia pastilah tidak bisa mengabikan peranan dan
sumbangan lembaga pemerintah yang saat ini bernama Pusat Bahasa, yaitu pelaksana
tugas dibidang penelitian dan pengembangan bahasa yang berada dibawah Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang merupakan kelanjutan sebuah intansi
kecil bernama Lembaga Bahasa pada tahun 1950-an. Setelah pengakuan kedaulatan,
pada tahun 1952 lembaga tersebut digabung dengan Balai Bahasa yang telah
dibentuk oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Suwanti semasa
berkedudukan di Yogyakarta, tepatnya pada Maret 1948. Gabungan ITCO dan Balai
Bahasa itu menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya, dan pada 1 Juni 1959 diubah
menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang berkedudukan langsung dibawah
Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Perubahan terjadi pada 3
November 1966 berupa pembentuka Direktorat Bahasa dan Keususastraan, kemudian
pada 27 Mei 1969 diubah menjadi Lembaga Bahasa Nasional, pada 1 April 1975
menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan sejak 24 Januari 2000
bernama Pusat Bahasa. Adapun fungsinya adalah merumuskan kebijakan Menteri dan
kebijakan teknis dibidang penelitian dan pengembangan bahasa, melaksanakan
penelitian dan pengembangan bahsa serta membina unit pelaksana teknis didaerah.
Fakultas
Sastra
Pada awal dekade 1970-an nama
Fakultas Sastra di Indonesia boleh dikatakan belum populer, kecuali Fakultas
Sastra Universitas Indonesia (FSUI) yang berkampus di Rawamangun, Jakarta,
Fakultas Sastra dam Kebudayaan Universitas Gajah Mada (FSK UGM) di kampus
Bulaksumur, Yogyakarta, dan Fakultas Sastra Universitas Padjajaran uang
berkampus di Jalan Dipati Ukur, Bandung. Tampaknya gambaran seperti itu pun
lebih baik dari pada potret Jurusan Sastra Indonesia di berbagai tempat yang
pada awal dekade 1970-an sama-sama serba terbatas: fasilitas gedung
perpustakaan, tenaga pengajaran, dan minat mahsiswa. Kalaupun secara resmi pembinaan
program akademi fakultas-fakultas sastra itu dipayungi oleh Konsorsium Sastra
dan Fasilitas yang tidak terpisahkan dari peranan kedua fakultas sastra senior
(UI dan UGM), pertumbuhan dan perkembangan setiap fakultas sastra, khususnya
jurusan sastra Indonesia, menjadi tanggung jawab masing-masing sesuai dengan
kondisi internal dan eksternal setempat.
Terlepas dari kemungkinan itu
baiklah dicatat bahwa dari semua fakultas sastra se-Indonesia telah diluluskan
ribuan sarjana sastra Indonesia yang kemudian dapat diperkirakan tersebar ke
berbagai sektor profesi.Dengan sendirinya ribuan sarjana sastra itu telah
meninggalkan jejak penelitian berupa skripsi yang tersimpan rapi di
perpustakaan setempat.Sementara itu, dapat dipastikan juga banyak tulisan para
dosen untuk berbagai forum diskusi dan seminar dengan bermacam label. Dapat
juga diperhitungkan sejumlah hasil penelitian sastra yang dari tahun ke tahun
terus bertamah, termasuk hasil kerja sama dengan Pusat Bahasa, sehingga boleh
dibilang ribuan judul karya ilmiah kesastraan telah terbesar dikampus-kampus
tersebut.
Boleh dipastikan bahwa sejumlah
pakar sastra semakin mapan juga di Medan, Jambi, Pekanbaru, Lampung,
Banjarmasin, Makassar, Kendari, Manado, dan lain-lain. Orang pun boleh berharap
agar di celah kesibukan kampusnya masih tersisa energi yang segar bagi
kehidupan jagat sastra Indonesia yang secara kuantitatif makin semarak di
mana-mana. Tampaknya kesemarakan itu harus dipahami secara kontekstual sebab
memang bukan gejala yang berdiri sendiri.Banyak pihak yang berperan dan
berkotribusi dalam dinamika ilmu sastra Indonesia, termasuk pusat-pusat studi
sastra Indonesia di luar negeri yang berkemungkinan juga semakin profesional.
Sastra
Indonesia di Mancanegara
Sejalan dengan perubahan dan
perkembangan zaman yang semakin jauh dari semangat jajah-menjajah maka
tampaklah pertumbuhan pusat-pusat pengkajian kebudayaan Indonesia di manca
negara.Kegiatan mereka dapat dpandang sebagai pendorong dan pemacu perkembangan
srudi sastra di Indonesia.Artinya, kalau di luar negeri pun berkembang studi
sastra Indonesia, seharusnya perkembangan di dalam negeri semakin mapan.
Diantara Negara tersebut adalah Republik Rakyat Cina, Jepang, Korea, Selandia Baru,
Jerman, dan Inggris.
Dewan
Kesenian Jakarta
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tidak
mungkin ditinggalkan dalam pembicaraan sastra Indonesia yang pada tahun 1970-an
boleh dikatakan masih berpusat di Jakarta. DKJ diresmikan oleh Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin pada 3 Juni 1968, terdiri atas 25 orang seniman-budayawan terkemuka.Tujuannya
adalah merumuskan konsep pembangunan budaya yang memeberi ruang gerak leluasa
bagi seniman untuk menyuarakan pencerahan bangsa.Untuk menampung kegiatan
seniman itu, dibangun Pusat Kesenian Jakarta bernama Taman ismail Marzuki (TIM)
dengan biaya subsidi Pemerintah DKI Jakarta.TIM di Jalan Cikini Raya 73,
Jakarta Pusat, diresmikan pada 10 Novermber 1968. Di samping itu, terdapat
Akademi Jakarta yang diresmikan pada tahun 1970 dan Institut Kesenian Jakarta
(IKJ) yang merupakan lembaga pendidikan tinggi di bidang kesenian.
DKJ adalah lembaga atau organiasi
kesnian yang menjadi mitra kerja Gubernur DKI Jakarta dalam perencanan
pembangunan kesenian. Tugasnya, antara lain, menyampaikan usulan program
pengembangan kesenian, memantau perkembangan kehidupan kesenian, mengevaluasi
pelaksanaan program tahunan, dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain.
Tokoh-tokoh yang pernah memipin Dewan Kesenian Jakarta hingga tahun 1990-an
tercatat Trisno Sumarjo (1968-1969), Umar Kayam (1969-1972), Ajip Rosidi
(1973-1981), Salim Said, Sulebar M. Sukarman, dan N. Riantiarno.
Akademi Jakarta merupakan lembaga
kehormatan di bidang kesenian, beranggotakan warga negara Indonesia yang diakui
secara luas sebagai tokoh-tokoh berjasa dalam bidang seni dan budaya, baik sebagai
seniman kreatif maupun sebagai pemikir seni dan budaya.Tugasnya pokoknya,
antara lain, memilih calon anggota DKJ, memantau perkembangan kesenian, dan
memberikan Anugerah Seni.
Sastra
Populer
Majalah Horison, Sastra, Pusat
Bahasa, fakultas sastra, dan Dewan Kesenian Jakarta mengisyaratkan lingkungan
yang “serius” atau resmi untuk kegiatan sastra yang berupa penciptaan (prosa,
puisi, drama, kritik, dan esai), penelitian, dan pengembangan, sedangkan di
luar lingkungan tersebut berkembang pesat penciptaan sastra yang kemudian
disebut sastra populer sejalan dengan maraknya penerbitan koran dan majalah
umum yang tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar. Pada
peringatan 30 tahun Horison Juli 1996 telah dilakukan wawancara majalah
tersebut dengan para redaktur budaya surat kabar sejumlah kota (Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan lain-lain) dengan tujuan
memperoleh pendapat dan pendangan mereka seputar dinamika sastra koran. Apabila
dipandang dari segi komersial atau sambungan masyarakat pembaca maka tampaklah
riwayat sastra koran yang dengan sendirinya berkonotasi sastra populer itu
telah berlangsung lama dengan pasang dan surut pada masa-masa tertentu. Setelah
marak pada tahun 1930-an, perkembangan sastra populer tersendat semasa
pendudukan militer Jepang dan revolusi kemerdekaan, kemudian berkembang lagi
pada tahun 1950-an dengan cetak ulang novel-novel terbitan Medan sebelum
kemerdekaan dan serial cerit silat Cina yang memukau pembaca. Perkembangan
selanjutnya berupa penerbitan cerita-cerita detektif terjemahan, novel saduran,
dan serial western. Sementara itu, baiklah dicatat bahwa perkembangan sastra
populer seperti tidak terbendung lagi pada tahun 1980-an dan 1990-an, terbukti
dengan produksi yang berlimpah dan munculnya para pengarang wanita.
Kritik
dan Esai
Boleh jadi belimpahnya novel
populer itu mengaburkan batasan dengan novel sastra yang telah memiliki jalur
tersendiri.Masalah itu lebih tepat dibahas oleh kritik sastra yang bertugas
menilai baik-buruknya karya sastra.Sebagai disiplin tersendiri, kritik sasra
Indonesia dapat dibahas berkepanjangan.Misalnya, tenang sejarahnya
tokoh-tokohnya, teori-teorinya, dan hasil-hasilnya. Tentu saja pembahasan yang
menyeluruh tidak akan tercapai dalam buku ini karena cakupannya memang terbatas
pada lintasan sejarah. Dengan kata lain, dalam buku ini hanya disajikan
lintasan kritik sastra Indonesia, sedangkan jiwa dan semangatnya harus dibaca
dan dikaji dalam sejumlah buku kritik sastra Indonesia yang jumlahnya terus
bertambah dari tahun ke tahun. Dari buku-buku tersebut dan sumber-sumber lain
diperolah gambaran bahwa sejarah kritik sastra Indonesia masih sangat muda
usianya karena baru dimulai pada awal adab ke-20 sejlan dengan lahirnya sastra
Indonesia, tepatnya sejak terbitnya malajah Pujangga Baru (1933). Hingga sekarang
tradisi kritik sastra yang tertuang dalam artikel resensi, tinjuan, atau ulasan
terus berjalan dan berkembang di berbagai koran dan majalah.
Oleh karena itu, perlu disusun
dasar-dasar kritik sastra Indonesia modern yang mecangkup yang mencangkup teori
dan wujud terapannya, termasuk perdebatan atau polemik yang pernah terjadi
sepanjang sejarahnya yang terbagi menjadi 5 periode kritik sastra Indonesia
sebgai berikut:
1. Periode 1920-1933,
2. Periode 1933-1942,
3. Periode 1942-1955,
4. Periode 1956-1975,
5. Periode 1976-1988.
Pakar
Sastra
Mereka telah bergiat jauh sebelum
tahun 1965 dan tetap berperan penting sepanjang hayatnay sejalan dengan kiprah
generasi muda yang muncul kemudian. Dengan kata lain, kehebatan mereka telah
teruji oleh sejarah, sedagkan yang muda-muda memang masih harus diuji oleh Sang
Waktu. Sementara itu, ratusan penyair, pengarang, esai, dan kritikus terus
bermunculan dikoran dan majalah yang terbit di Jakarta dan kota-kota besar,
seperti Bnadung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Padang, dan Medan. Majalh
Horison dengan sisipan Kakilangit masih tetap diunggulkan masyarakat sastra,
sedangkan koran-koran yang diandalkan wibawanya adalah Kompas, Median Indonesia
dan Republika di Jakarta, Suara Merdeka di Semarang, dan Jawa Pos di Surabaya.
Di samping itu, terdiri juga majalah ilmiah bahsa dan sastra di banyak
perguruan tinggi yang dapat dipandag sebagai jalur tersendiri.
Sebagian dari mereka terus
berprduksi di jagat sastra, dan banyak yang kemudian bergeser ke bidang-bidang
lain seperti politik, pendidikan, pers, dan bisnis. Pada akhirnya, waktu dan
sejarahlah yang mencatat prestasi setiap pengarang. Tak ada tuntutan
siapa pun terhadap kepengarangan masing-masing.Boleh saja seorang pengarang
muncul sekejap dan menghilang selamanya karena alasan-alasan tertentu.Kalaupun
banyak yang terus berprestasi menembus zaman, pastilah terdukung oleh berbagai
faktor yang menguntungkan.Masalah itu tampaknya lebih tepat digarap para
penelitian dan kritikus.
Sementara itu, kemapanan politik,
sosial, dan ekonomi Indonesia tiba-tba goyah dan resah pada pertengahan dekade
1990-an dengan terjadinya krisis keuangan dan ekonomi tahun 1996-1997 yang
berlanjut dengan maraknya tuntutan refolusi total di berbagai bidang. Bahkan
puncaknya terjadi pada 21 Mei 1998 dengan pengunduran diri Presiden Soeharto
dan penyerahan kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie.Peristiwa yang
terkenal banyak orang sebagai Reformasi Mei 1998 itu menyimpan kisah yang
panjang, berliku, rumit, dan penuh ketegangan.Bagaimana pengaruhnya terhadap
dinamika kegidupan sastra Indonesia tentu saja merupakan masalah baru yang
harus dikaji para pakar dengan sudut pandang yang komprehensif,
sekurang-kurangnya secara historis dan sosiologis.
Bacaan
Terpilih
Dari Biblografi Sastra Indonesia
tercatat 203 judul buku kumpulan cerpen, 253 judul buku novel, 672 judul buku
puisi, dan 95 judul drama terbitan tahun 1967-1997. Kalaupun di sini disajikan
sejumlah buku yang dipandang “unggul”, dasrnya masih terbatas pada pengamatan
terhadap resensi, ulasan, kritik, promosi buku di koran dan majalah,
judul-judul makalah diskusi dan seminar, buku-buku kritik sastra, dan “gosip”
di kalangan pakar dan pengarang. Yang jelas, hanya sejarah yang kelak akan
mencatat mana yang unggul sesaat dan mana pula yang mampu menembus zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Yudiono
K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia. PT. Grasindo: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar