Sabtu, 10 Desember 2016

Masa Pemapanan Sastra Indonesia 1965-1998



Majalah Horizon
Setelah melewati bulan-bulan keterngan untuk penumpasan PKI masa pada bulan Juli 1966 mulailah kegiatan budaya berupa penerbitan majalah Horison di bawah pimpinan Mochtar Lubis, sedangkan redaksinya adalah H.B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, Soe Hok Djin, dan D.S. Moeljanto. Penerbitnya adalah Yayasan Indonesia adalah mengembalikan krisis budaya uang telah terjadi selama belasan tahun dengan harapan tumbuh semangat baru untuk memperjuangkan demokrasi dan martabat manusia Indonesia.Nama Horizon yang berarti ‘kaki langit’ atau ‘cakrawala’ itu merupakan simbol pencarian horison baru untuk menghapuskan batas-batas pemikiran, telaah, dan kreativitas disemua bidang kehidupan. Majalah tersebut mengajak masyarakat meninggalkan ruang sempit yang telah mengungkung jiwa masyarakat selama puluhan tahun sehinhha memeperoleh kehidupan baru yang lebih segar dan terbatas dari kekuasaan yang monolitik. Majalah Horison mengutamakan sastra (cerita pendek, sajak, kritik, dan esai) dengan kesadaran penuh bahwa bidang sastra berkedudukan strategis sebagai pendorong kreativitas pemikiran, baik perseorangan maupun antarbangsa.
Sastra dan H.B. Jassin
Majalah sastra diterbitkan pertama kali pada 1 Mei 1961 dan berjalan hingga Maret 1964 dengan tokoh-tokoh dijajaran redaksi tercatat H.B. Jassin, M. Balfas, D.S. Moeljanto, Ekana Siswojo, Toha Mohtar, Tatang M., Zaini, A. Wakidjan, dan Ipe Ma’ruf. Sejak pertama kali majalah tersebut sudah menjadi bulan-bulanan, hasutan dan fitnahan kelompok Lekra yang berkehendak segala kegiatan kebudayaan, termasuk sastra, berada dibawah pengaruh dan kekuasaannya. Tekanan itu semakin keras setelah deklarasi Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 sehingga majalah Sastra terpaksa berhenti terbit setelah edisi Maret 1964. Baru tiga tahun kemudian, tepatnya pada November 1967 Sastra diterbitkan lagi dengan tokoh-tokoh redaksi. Wajar apabila mereka berharap Sastra akan terbit sejalan dengan Horison karena telah memiliki suatu komunitas yang kukuh. Akan tetapi, penerbitannya hanya berlangsung hingga Oktober 1969, kemudian terpaksa berhenti terbit pula karena kasus pemuatan cerpen “Langit Makin Mendung” karang Kipandjkusmin dalam edisi Agustus 1968.Dua puluh tahun kemudian, terhadap kasus tersebut Rachmat Djoko Pradopo berpendapat bahwa pelarangan karya sastra bukan hanya terjadi sekarang, tetapi sudah pernah berlaku pada sekian abad yang silam.

Pusat Bahasa
Sejarah perkembangan sastra Indonesia pastilah tidak bisa mengabikan peranan dan sumbangan lembaga pemerintah yang saat ini bernama Pusat Bahasa, yaitu pelaksana tugas dibidang penelitian dan pengembangan bahasa yang berada dibawah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang merupakan kelanjutan sebuah intansi kecil bernama Lembaga Bahasa pada tahun 1950-an. Setelah pengakuan kedaulatan, pada tahun 1952 lembaga tersebut digabung dengan Balai Bahasa yang telah dibentuk oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Suwanti semasa berkedudukan di Yogyakarta, tepatnya pada Maret 1948. Gabungan ITCO dan Balai Bahasa itu menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya, dan pada 1 Juni 1959 diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang berkedudukan langsung dibawah Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Perubahan terjadi pada 3 November 1966 berupa pembentuka Direktorat Bahasa dan Keususastraan, kemudian pada 27 Mei 1969 diubah menjadi Lembaga Bahasa Nasional, pada 1 April 1975 menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan sejak 24 Januari 2000 bernama Pusat Bahasa. Adapun fungsinya adalah merumuskan kebijakan Menteri dan kebijakan teknis dibidang penelitian dan pengembangan bahasa, melaksanakan penelitian dan pengembangan bahsa serta membina unit pelaksana teknis didaerah.
Fakultas Sastra
Pada awal dekade 1970-an nama Fakultas Sastra di Indonesia boleh dikatakan belum populer, kecuali Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) yang berkampus di Rawamangun, Jakarta, Fakultas Sastra dam Kebudayaan Universitas Gajah Mada (FSK UGM) di kampus Bulaksumur, Yogyakarta, dan Fakultas Sastra Universitas Padjajaran uang berkampus di Jalan Dipati Ukur, Bandung. Tampaknya gambaran seperti itu pun lebih baik dari pada potret Jurusan Sastra Indonesia di berbagai tempat yang pada awal dekade 1970-an sama-sama serba terbatas: fasilitas gedung perpustakaan, tenaga pengajaran, dan minat mahsiswa. Kalaupun secara resmi pembinaan program akademi fakultas-fakultas sastra itu dipayungi oleh Konsorsium Sastra dan Fasilitas yang tidak terpisahkan dari peranan kedua fakultas sastra senior (UI dan UGM), pertumbuhan dan perkembangan setiap fakultas sastra, khususnya jurusan sastra Indonesia, menjadi tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kondisi internal dan eksternal setempat.
Terlepas dari kemungkinan itu baiklah dicatat bahwa dari semua fakultas sastra se-Indonesia telah diluluskan ribuan sarjana sastra Indonesia yang kemudian dapat diperkirakan tersebar ke berbagai sektor profesi.Dengan sendirinya ribuan sarjana sastra itu telah meninggalkan jejak penelitian berupa skripsi yang tersimpan rapi di perpustakaan setempat.Sementara itu, dapat dipastikan juga banyak tulisan para dosen untuk berbagai forum diskusi dan seminar dengan bermacam label. Dapat juga diperhitungkan sejumlah hasil penelitian sastra yang dari tahun ke tahun terus bertamah, termasuk hasil kerja sama dengan Pusat Bahasa, sehingga boleh dibilang ribuan judul karya ilmiah kesastraan telah terbesar dikampus-kampus tersebut.
Boleh dipastikan bahwa sejumlah pakar sastra semakin mapan juga di Medan, Jambi, Pekanbaru, Lampung, Banjarmasin, Makassar, Kendari, Manado, dan lain-lain. Orang pun boleh berharap agar di celah kesibukan kampusnya masih tersisa energi yang segar bagi kehidupan jagat sastra Indonesia yang secara kuantitatif makin semarak di mana-mana. Tampaknya kesemarakan itu harus dipahami secara kontekstual sebab memang bukan gejala yang berdiri sendiri.Banyak pihak yang berperan dan berkotribusi dalam dinamika ilmu sastra Indonesia, termasuk pusat-pusat studi sastra Indonesia di luar negeri yang berkemungkinan juga semakin profesional.

Sastra Indonesia di Mancanegara
Sejalan dengan perubahan dan perkembangan zaman yang semakin jauh dari semangat jajah-menjajah maka tampaklah pertumbuhan pusat-pusat pengkajian kebudayaan Indonesia di manca negara.Kegiatan mereka dapat dpandang sebagai pendorong dan pemacu perkembangan srudi sastra di Indonesia.Artinya, kalau di luar negeri pun berkembang studi sastra Indonesia, seharusnya perkembangan di dalam negeri semakin mapan. Diantara Negara tersebut adalah Republik Rakyat Cina, Jepang, Korea, Selandia Baru, Jerman, dan Inggris.

Dewan Kesenian Jakarta
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tidak mungkin ditinggalkan dalam pembicaraan sastra Indonesia yang pada tahun 1970-an boleh dikatakan masih berpusat di Jakarta. DKJ diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 3 Juni 1968, terdiri atas 25 orang seniman-budayawan terkemuka.Tujuannya adalah merumuskan konsep pembangunan budaya yang memeberi ruang gerak leluasa bagi seniman untuk menyuarakan pencerahan bangsa.Untuk menampung kegiatan seniman itu, dibangun Pusat Kesenian Jakarta bernama Taman ismail Marzuki (TIM) dengan biaya subsidi Pemerintah DKI Jakarta.TIM di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat, diresmikan pada 10 Novermber 1968. Di samping itu, terdapat Akademi Jakarta yang diresmikan pada tahun 1970 dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang merupakan lembaga pendidikan tinggi di bidang kesenian.
DKJ adalah lembaga atau organiasi kesnian yang menjadi mitra kerja Gubernur DKI Jakarta dalam perencanan pembangunan kesenian. Tugasnya, antara lain, menyampaikan usulan program pengembangan kesenian, memantau perkembangan kehidupan kesenian, mengevaluasi pelaksanaan program tahunan, dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain. Tokoh-tokoh yang pernah memipin Dewan Kesenian Jakarta hingga tahun 1990-an tercatat Trisno Sumarjo (1968-1969), Umar Kayam (1969-1972), Ajip Rosidi (1973-1981), Salim Said, Sulebar M. Sukarman, dan N. Riantiarno.
Akademi Jakarta merupakan lembaga kehormatan di bidang kesenian, beranggotakan warga negara Indonesia yang diakui secara luas sebagai tokoh-tokoh berjasa dalam bidang seni dan budaya, baik sebagai seniman kreatif maupun sebagai pemikir seni dan budaya.Tugasnya pokoknya, antara lain, memilih calon anggota DKJ, memantau perkembangan kesenian, dan memberikan Anugerah Seni.

Sastra Populer
Majalah Horison, Sastra, Pusat Bahasa, fakultas sastra, dan Dewan Kesenian Jakarta mengisyaratkan lingkungan yang “serius” atau resmi untuk kegiatan sastra yang berupa penciptaan (prosa, puisi, drama, kritik, dan esai), penelitian, dan pengembangan, sedangkan di luar lingkungan tersebut berkembang pesat penciptaan sastra yang kemudian disebut sastra populer sejalan dengan maraknya penerbitan koran dan majalah umum yang tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar. Pada peringatan 30 tahun Horison Juli 1996 telah dilakukan wawancara majalah tersebut dengan para redaktur budaya surat kabar sejumlah kota (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan lain-lain) dengan tujuan memperoleh pendapat dan pendangan mereka seputar dinamika sastra koran. Apabila dipandang dari segi komersial atau sambungan masyarakat pembaca maka tampaklah riwayat sastra koran yang dengan sendirinya berkonotasi sastra populer itu telah berlangsung lama dengan pasang dan surut pada masa-masa tertentu. Setelah marak pada tahun 1930-an, perkembangan sastra populer tersendat semasa pendudukan militer Jepang dan revolusi kemerdekaan, kemudian berkembang lagi pada tahun 1950-an dengan cetak ulang novel-novel terbitan Medan sebelum kemerdekaan dan serial cerit silat Cina yang memukau pembaca. Perkembangan selanjutnya berupa penerbitan cerita-cerita detektif terjemahan, novel saduran, dan serial western. Sementara itu, baiklah dicatat bahwa perkembangan sastra populer seperti tidak terbendung lagi pada tahun 1980-an dan 1990-an, terbukti dengan produksi yang berlimpah dan munculnya para pengarang wanita.

Kritik dan Esai
Boleh jadi belimpahnya novel populer itu mengaburkan batasan dengan novel sastra yang telah memiliki jalur tersendiri.Masalah itu lebih tepat dibahas oleh kritik sastra yang bertugas menilai baik-buruknya karya sastra.Sebagai disiplin tersendiri, kritik sasra Indonesia dapat dibahas berkepanjangan.Misalnya, tenang sejarahnya tokoh-tokohnya, teori-teorinya, dan hasil-hasilnya. Tentu saja pembahasan yang menyeluruh tidak akan tercapai dalam buku ini karena cakupannya memang terbatas pada lintasan sejarah. Dengan kata lain, dalam buku ini hanya disajikan lintasan kritik sastra Indonesia, sedangkan jiwa dan semangatnya harus dibaca dan dikaji dalam sejumlah buku kritik sastra Indonesia yang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Dari buku-buku tersebut dan sumber-sumber lain diperolah gambaran bahwa sejarah kritik sastra Indonesia masih sangat muda usianya karena baru dimulai pada awal adab ke-20 sejlan dengan lahirnya sastra Indonesia, tepatnya sejak terbitnya malajah Pujangga Baru (1933). Hingga sekarang tradisi kritik sastra yang tertuang dalam artikel resensi, tinjuan, atau ulasan terus berjalan dan berkembang di berbagai koran dan majalah.
Oleh karena itu, perlu disusun dasar-dasar kritik sastra Indonesia modern yang mecangkup yang mencangkup teori dan wujud terapannya, termasuk perdebatan atau polemik yang pernah terjadi sepanjang sejarahnya yang terbagi menjadi 5 periode kritik sastra Indonesia sebgai berikut:
1.      Periode 1920-1933,
2.      Periode 1933-1942,
3.      Periode 1942-1955,
4.      Periode 1956-1975,
5.      Periode 1976-1988.

Pakar Sastra
Mereka telah bergiat jauh sebelum tahun 1965 dan tetap berperan penting sepanjang hayatnay sejalan dengan kiprah generasi muda yang muncul kemudian. Dengan kata lain, kehebatan mereka telah teruji oleh sejarah, sedagkan yang muda-muda memang masih harus diuji oleh Sang Waktu. Sementara itu, ratusan penyair, pengarang, esai, dan kritikus terus bermunculan dikoran dan majalah yang terbit di Jakarta dan kota-kota besar, seperti Bnadung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Padang, dan Medan. Majalh Horison dengan sisipan Kakilangit masih tetap diunggulkan masyarakat sastra, sedangkan koran-koran yang diandalkan wibawanya adalah Kompas, Median Indonesia dan Republika di Jakarta, Suara Merdeka di Semarang, dan Jawa Pos di Surabaya. Di samping itu, terdiri juga majalah ilmiah bahsa dan sastra di banyak perguruan tinggi yang dapat dipandag sebagai jalur tersendiri.
Sebagian dari mereka terus berprduksi di jagat sastra, dan banyak yang kemudian bergeser ke bidang-bidang lain seperti politik, pendidikan, pers, dan bisnis. Pada akhirnya, waktu dan sejarahlah yang mencatat  prestasi setiap pengarang. Tak ada tuntutan siapa pun terhadap kepengarangan masing-masing.Boleh saja seorang pengarang muncul sekejap dan menghilang selamanya karena alasan-alasan tertentu.Kalaupun banyak yang terus berprestasi menembus zaman, pastilah terdukung oleh berbagai faktor yang menguntungkan.Masalah itu tampaknya lebih tepat digarap para penelitian dan kritikus.
Sementara itu, kemapanan politik, sosial, dan ekonomi Indonesia tiba-tba goyah dan resah pada pertengahan dekade 1990-an dengan terjadinya krisis keuangan dan ekonomi tahun 1996-1997 yang berlanjut dengan maraknya tuntutan refolusi total di berbagai bidang. Bahkan puncaknya terjadi pada 21 Mei 1998 dengan pengunduran diri Presiden Soeharto dan penyerahan kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie.Peristiwa yang terkenal banyak orang sebagai Reformasi Mei 1998 itu menyimpan kisah yang panjang, berliku, rumit, dan penuh ketegangan.Bagaimana pengaruhnya terhadap dinamika kegidupan sastra Indonesia tentu saja merupakan masalah baru yang harus dikaji para pakar dengan sudut pandang yang komprehensif, sekurang-kurangnya secara historis dan sosiologis.

Bacaan Terpilih
Dari Biblografi Sastra Indonesia tercatat 203 judul buku kumpulan cerpen, 253 judul buku novel, 672 judul buku puisi, dan 95 judul drama terbitan tahun 1967-1997. Kalaupun di sini disajikan sejumlah buku yang dipandang “unggul”, dasrnya masih terbatas pada pengamatan terhadap resensi, ulasan, kritik, promosi buku di koran dan majalah, judul-judul makalah diskusi dan seminar, buku-buku kritik sastra, dan “gosip” di kalangan pakar dan pengarang. Yang jelas, hanya sejarah yang kelak akan mencatat mana yang unggul sesaat dan mana pula yang mampu menembus zaman.

DAFTAR PUSTAKA
Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. PT. Grasindo: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar