Sabtu, 10 Desember 2016

Apa yang Terjadi di Masa Pertumbuhan Sastra Indonesia 1900-1945



Pada masa pertumbuhan sastra Indonesia terjadi berbagai hal yang diantaranya menyangkut  karya-karya sastra yang ada pada masa itu. Diantara hal-hal yang terjadi pada masa tersebut akan dijelaskan melalui penjelasan berikut :
Sekolah dan Pers
Nusantara yang kemudian menjadi bangsa Indonesia telah memiliki tradisi sastra yang hebat selama berabad-abad dan terus berlansung sejalan dengan perubahan zaman hingga memasuki abad ke-20.Perubahan zaman itu ditandai dengan munculnya sekolah-sekolah umum yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan sistem dan isi yang berbeda dengan pesantren dan sekolah-sekolah Kristen.Sekolah umum atau sekolah negeri pada zaman itu didirikan sebagai realisasi kebijakan pemerintah Belanda terhadap desakan kaum sosialis yang melancarkan semangat politik etika atau polotik balas budi.Dimata kaum sosialis tampaklah kemewahan yang berlimpah di Belanda berasal dari negara jajahan Hindia-Belanda.Oleh karena itu, mereka berpendapat seharusnya diberikan balas budi kepada rakyat jajahan dengan memberikan pendidikan yang terbuka bagi kebanyakan orang pribumi.Pada abad-abad silam sastra klasik atau sastra nusantara itu belum tercetak dalam buku-buku yang rapi dan mudah di baca orang, tetapi tertulis dengan tangan pada naskah-naskah lontar, bilah bamboo, bilah kayu dan kertas dengan jumlah yang sangat terbatas. Ada yang tertulis dengan bahasa daerah tertentu dan banyak juga yang tertulis dengan huruf jawi atau arab melayu.

Balai Pustaka
Nama Balai Pustaka tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalu dihitung dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 14 September 1908. Jelas bahwa badan penerbitan itu merupakan organ pemerintah kolonial yang semangatnya boleh dikatakan berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata bervisi komersial maupun bervisi kebangsaan.Akan tetapi, mengigat sejarahnya yang panjang itu maka sepantasnya menajadi bagian khusus dalam pengkajian atau telaah sejarah sastra Indonesia. Secara teoritis dapat dikatakan banyak masalah yang dapat diungkapkan dari Balai Pustaka selama ini, antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi, pengarang, produksi, dan distribusi. Yang jelas ada beberapa masalah esensial balai pustaka yang secara historis tidak terbantahkan.
Ditambah dengan pengkajian berbagai gejala yang berkembang disekitarnya pastilah memperluas wawasan pengetahuan masyarakat.Pada zaman itu Balai Pustaka menghasilkan bermacam buku, majalah, dan almanak.Buku-buku populer yang terbit meliputi kesehatan, petanian, peternakan, budi pekerti, sejarah, adat, dan lain-lain.Majalah yang diterbitkan Balai Pustaka adalah Sri Pustaka yang kemudian bernama Panji Pustaka berbahasa Melayu (1923), Kejawen berbahasa Jawa (1926), dan Parahiangan berbahasa Sunda (1929).Tiras penerbit Panji Pustaka pernah mencapai 7.000 eksemplar, Kejawen mencapai 5.000 eksemplar, Parahiangan 2.500 eksemplar. Dari tangan mereka para penulis bermutu tinggi telah terbit puluhan roman Balai Pustaka tahun 1920-an dan 1930-an yang boleh jadi sudah tidak diminati lagi oleh pembaca umum generasi sekarang., kecuali harus dibaca sebagai bahan pelajanaran budaya yang kandungan isinya hanya dapat diketahui secara mendalam apabila dibaca dan dikaji sebagaimana mestinya.

Pujangga Baru
Seperti halnya Balai Pustaka, Pujangga Baru pun merupakan sebuah momentus penting dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia. Kata itu dapat diartikan sebagai majalah yang aslinya tertulis Poejangga Baroe, dan dapat juga diartikan gerakan kebudayaan Pujangga Baru tahun 1930-an yang tidak terpisahkan dari tokoh-tokoh pemuda terpelajar Muhammad Yamin, Rustam Effendi S., Takdir Arkistahbahna, Amirjd Pane, Sanusi Pane, J.E. Tatengkeh, dan Amier Hamzah. Majalah Pujangga Baru terbit pertama kali pada Mei 1933 dengan tujuan menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai dengan semangat zamannya dan mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya boleh dikatakan cerai berai dengan menulis banyak dimajalah.Sebenarnya usaha penerbitaan suatu majalah kesussastraan sudah muncul pada tahun 1921, 1925, dan 1929, tetapi selalu gagal.Baru pada tahun 1933 atas usaha S. Takdir Alisjhbana, Amier Hamzah, dan Amier Pane dapat diterbitkan majalah baru. Tujuannya pada keteranggan resmi yang berbunyi, “Majalah Kesussastraan dan Bahasa serta Kebudayaan umum” kemudian menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesussastraan, Seni, Kebudayaan, dan soal masyarakat umum”, dan berganti lagi “Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan dan persatuan Indonesia” (Rosidi, 1969; 35).

Keimin Bungka Shidosho
Keimin Bunka Shidosho yang dalam bahasa Indonesia disebut Kantor Pusat Kebudayaan adalah sebuah lembaga atau organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang yang bertugas memobilisasi berbagai potensi seni dan budaya untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya uang dikorbankan Jepang. Ke dalam Keimin Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan itu terhimpunlah sejumlah seniman untuk membuat lagu-lagu, lukisan, slogan, sajak, sandiwara, dan film yang harus bisa membakar semangat perjuangan demi kepentingan Jepang yang menjanjikan masa depan gemilang bagi bangsa Indonesia. Janji-janji yang lantang itu diwujudkan dalam berbagai tindakan drastis seperti penghapusan segala sistem yang berbau Belanda, termasuk penghapusan bahasa Belanda untuk diganti dengan bahasa Jepang yang harus segera dipelajari orang, Selanjutnya dibidang seni budaya dibentuklah Pusat Kebudayaan sebagai penghimpun potensi kreatif seniman budayawan, terutama yang berkedudukan di Jakarta. Ini merupakan lembaga yang besar pengaruhnya terhadapa kesusastraan pada masa itu adalah Keimin Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan yang didirikan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk memobilitasi potensi seniman budayawan sebagai pendukung kepentingan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.Pada mulanya ajakan itu mendapat sambutan baik dari kalangan seniman karena Jepang menjanjikan kemerdekaan.
Namun, tidak lama kamudian sadarlah mereka bahwa janji-janji manis Jepang itu hanya tipuan belaka. Sementara itu, banyak seniman yang tidak terpihak pada Keimin Bunka Shidosho, seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Amal Hamzah.Kebanyakan karangan yang terbit adalah cerita pendek (cerpen) dan sajak-sajak.

Bacaan terpilih
Bacaan terpilih dimaksudkan sebagai ilustrasi, pengingat atau penyegar bagi para pembaca yang secara umum talah mengenal sejumlah karya sastra Indonesia.Sebutan terpilih itu bukan bagus dan hebat dari pandangan dan kritik sastra melainkan jumlah sampel atau contoh yang datanya dipandang pantasdiungkapakan kemabali dengan pertimbangan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. PT. Grasindo: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar