Pada
masa pertumbuhan sastra Indonesia terjadi berbagai hal yang diantaranya
menyangkut karya-karya sastra yang ada
pada masa itu. Diantara hal-hal yang
terjadi pada masa tersebut akan dijelaskan melalui penjelasan berikut :
Sekolah dan Pers
Nusantara
yang kemudian menjadi bangsa Indonesia telah memiliki tradisi sastra yang hebat
selama berabad-abad dan terus berlansung sejalan dengan perubahan zaman hingga
memasuki abad ke-20.Perubahan zaman itu ditandai dengan munculnya
sekolah-sekolah umum yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda
dengan sistem dan isi yang berbeda dengan pesantren dan sekolah-sekolah
Kristen.Sekolah umum atau sekolah negeri pada zaman itu didirikan sebagai
realisasi kebijakan pemerintah Belanda terhadap desakan kaum sosialis yang
melancarkan semangat politik etika atau polotik balas budi.Dimata kaum sosialis
tampaklah kemewahan yang berlimpah di Belanda berasal dari negara jajahan
Hindia-Belanda.Oleh karena itu, mereka berpendapat seharusnya diberikan balas
budi kepada rakyat jajahan dengan memberikan pendidikan yang terbuka bagi
kebanyakan orang pribumi.Pada abad-abad silam sastra klasik atau sastra
nusantara itu belum tercetak dalam buku-buku yang rapi dan mudah di baca orang,
tetapi tertulis dengan tangan pada naskah-naskah lontar, bilah bamboo, bilah
kayu dan kertas dengan jumlah yang sangat terbatas. Ada yang tertulis dengan
bahasa daerah tertentu dan banyak juga yang tertulis dengan huruf jawi atau arab
melayu.
Balai
Pustaka
Nama Balai Pustaka tersebut telah
bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalu dihitung dari berdirinya pada tahun
1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat
yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 14 September 1908. Jelas
bahwa badan penerbitan itu merupakan organ pemerintah kolonial yang semangatnya
boleh dikatakan berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang
semata-mata bervisi komersial maupun bervisi kebangsaan.Akan tetapi, mengigat
sejarahnya yang panjang itu maka sepantasnya menajadi bagian khusus dalam
pengkajian atau telaah sejarah sastra Indonesia. Secara teoritis dapat
dikatakan banyak masalah yang dapat diungkapkan dari Balai Pustaka selama ini,
antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan
redaksi, pengarang, produksi, dan distribusi. Yang jelas ada beberapa masalah
esensial balai pustaka yang secara historis tidak terbantahkan.
Ditambah dengan pengkajian berbagai
gejala yang berkembang disekitarnya pastilah memperluas wawasan pengetahuan
masyarakat.Pada zaman itu Balai Pustaka menghasilkan bermacam buku, majalah,
dan almanak.Buku-buku populer yang terbit meliputi kesehatan, petanian,
peternakan, budi pekerti, sejarah, adat, dan lain-lain.Majalah yang diterbitkan
Balai Pustaka adalah Sri Pustaka yang kemudian bernama Panji Pustaka berbahasa
Melayu (1923), Kejawen berbahasa Jawa (1926), dan Parahiangan berbahasa Sunda
(1929).Tiras penerbit Panji Pustaka pernah mencapai 7.000 eksemplar, Kejawen
mencapai 5.000 eksemplar, Parahiangan 2.500 eksemplar. Dari tangan mereka para
penulis bermutu tinggi telah terbit puluhan roman Balai Pustaka tahun 1920-an
dan 1930-an yang boleh jadi sudah tidak diminati lagi oleh pembaca umum
generasi sekarang., kecuali harus dibaca sebagai bahan pelajanaran budaya yang
kandungan isinya hanya dapat diketahui secara mendalam apabila dibaca dan
dikaji sebagaimana mestinya.
Pujangga Baru
Seperti halnya Balai Pustaka,
Pujangga Baru pun merupakan sebuah momentus penting dalam perjalanan sejarah
sastra Indonesia. Kata itu dapat diartikan sebagai majalah yang aslinya
tertulis Poejangga Baroe, dan dapat juga diartikan gerakan kebudayaan Pujangga
Baru tahun 1930-an yang tidak terpisahkan dari tokoh-tokoh pemuda terpelajar Muhammad
Yamin, Rustam Effendi S., Takdir Arkistahbahna, Amirjd Pane, Sanusi Pane, J.E.
Tatengkeh, dan Amier Hamzah. Majalah Pujangga Baru terbit pertama kali pada Mei
1933 dengan tujuan menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai dengan semangat
zamannya dan mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya
boleh dikatakan cerai berai dengan menulis banyak dimajalah.Sebenarnya usaha
penerbitaan suatu majalah kesussastraan sudah muncul pada tahun 1921, 1925, dan
1929, tetapi selalu gagal.Baru pada tahun 1933 atas usaha S. Takdir Alisjhbana,
Amier Hamzah, dan Amier Pane dapat diterbitkan majalah baru. Tujuannya pada
keteranggan resmi yang berbunyi, “Majalah Kesussastraan dan Bahasa serta
Kebudayaan umum” kemudian menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesussastraan,
Seni, Kebudayaan, dan soal masyarakat umum”, dan berganti lagi “Pembimbing
semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan dan persatuan Indonesia”
(Rosidi, 1969; 35).
Keimin Bungka Shidosho
Keimin Bunka Shidosho yang dalam
bahasa Indonesia disebut Kantor Pusat Kebudayaan adalah sebuah lembaga atau
organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang yang bertugas memobilisasi
berbagai potensi seni dan budaya untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya uang
dikorbankan Jepang. Ke dalam Keimin Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan
itu terhimpunlah sejumlah seniman untuk membuat lagu-lagu, lukisan, slogan,
sajak, sandiwara, dan film yang harus bisa membakar semangat perjuangan demi
kepentingan Jepang yang menjanjikan masa depan gemilang bagi bangsa Indonesia.
Janji-janji yang lantang itu diwujudkan dalam berbagai tindakan drastis seperti
penghapusan segala sistem yang berbau Belanda, termasuk penghapusan bahasa
Belanda untuk diganti dengan bahasa Jepang yang harus segera dipelajari orang,
Selanjutnya dibidang seni budaya dibentuklah Pusat Kebudayaan sebagai
penghimpun potensi kreatif seniman budayawan, terutama yang berkedudukan di
Jakarta. Ini merupakan lembaga yang besar pengaruhnya terhadapa kesusastraan
pada masa itu adalah Keimin Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan yang
didirikan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk memobilitasi potensi seniman
budayawan sebagai pendukung kepentingan Jepang dalam Perang Asia Timur
Raya.Pada mulanya ajakan itu mendapat sambutan baik dari kalangan seniman
karena Jepang menjanjikan kemerdekaan.
Namun, tidak lama kamudian
sadarlah mereka bahwa janji-janji manis Jepang itu hanya tipuan belaka.
Sementara itu, banyak seniman yang tidak terpihak pada Keimin Bunka Shidosho,
seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Amal Hamzah.Kebanyakan karangan yang terbit
adalah cerita pendek (cerpen) dan sajak-sajak.
Bacaan terpilih
Bacaan terpilih dimaksudkan
sebagai ilustrasi, pengingat atau penyegar bagi para pembaca yang secara umum
talah mengenal sejumlah karya sastra Indonesia.Sebutan terpilih itu bukan bagus
dan hebat dari pandangan dan kritik sastra melainkan jumlah sampel atau contoh
yang datanya dipandang pantasdiungkapakan kemabali dengan pertimbangan
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Yudiono
K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia. PT. Grasindo: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar