Sabtu, 10 Desember 2016

Masa Pembebasan Satra Indonesia Tahun 1998



 Krisis Multidimensi
Krisis multidimensi merupakan isilah yang pupoler pada dewasa ini sebagaimana sering dimedia masa. Makanya tidak cukup dijelaskan dalam satu atau dua kalimat, bahkan tidak cukup dalam sebuah buku, secara umu istilah tersebut menunjuk pada berbagai masalah yang melilit kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia setelah reformasi Mei 1998 sehingga terjadi kemerotosan dalam hampir segala asek kehidupan. Sumbernya adalah krisis ekonomi dana politik yang terjadi pada sekitar tahun 1998 seperti sudah ditulis para ahli dalam puluhan judul buku.
Krisis dimulai dengan gejolak keuangan yang memburuk pada tahun 1996, padahal baru saja dipuji-puji oleh Bnak Dunua dan Internasional Monetary (IMF).Nilai tukar rupiah jungkir balik sehingga banyak bank dan perusahaan yang kolaps.Akibat lebih jauh timbul ketidakpercayaan masyarakart terhadap pemerintah dibawah Presiden Soeharto yang telah berkuasa sejak tahun 1967.Ketidakpuasan masyarakatan terhadap kepemimpinan Soeharto sebenarnya sudah terasa pada awal dekade 1990-an, kerika pada tahun 1993 Soeharto dicalonkan oleh Golkar sebagai presiden.Pada waktu itu Golkar adalah partai terbesar pendukungan (PDD) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kedudukannya terbilang kukuh karena sistem politik masa itu tidak membuka peluang sedikit pun terhadap perbedaan pendepat.Hampir segala aspek kehidupan sosial politik seperti partai, pers, penerbitan, akademik, organisasi kemasyarakatan dibatasi ruang geraknya.
Pada tahun-tahun pertama era reformasi telah bermunculan penerbitan tabloid, koran, majalah, dan buku dimana-mana yang semuanya hendak menyuarakan kebebasan berpendapat. Akan tetapi, hanya dalam beberapa tahun ternyata banyak penerbitan yang rontok sehingga hanya penerbitan yang sudah mapanlah masih tetap bertahan.Terlepas dari kondisi penerbitan yang pasangan surut itu, ternyata sastra Indonesia tidak pernah berhenti berdenyut. Di akhir dekade 1990-an sastra koran dan majalah tetap semarak dan hasilnya yang mencolok adalah “gundukan-gundukan puisi” dari para penyair yang hilang timbul silih berganti. Boleh jadi penerbitan buku puisis di banyak daerah dapat di pandang sebagai cermin perlawanan terhadap hegemoni penerbitan yang sudah mapan di Jakarta, seperti Balai Pustaka, Djambatan, Gramedia, Grasindo, Grafitipers, Pustaka Jaya, Obor Indonesia, Horison, Kalam, Kompas, Republika, Media Indonesia, dan lain-lain. Barangkali dapat dikaitkan juga dengan semangat otonomi daerah yang di sana-sini dipandang berlebihan.

Sastra Pembebasan
Disini hanya dipergunakan sebgaai ancar-ancar bahwa sastra pascareformasi dapat dianggap sebagai salah satu jalan pembebasan terhadap berbagai kekangan dan pembatasan yang terjadi di akhir Orde Baru (tahun 1990-an).
Sementara itu, kehidupan kampus (mahasiswa) pun terkekang oleh sejumlah aturan, sedangkan pers dan kesenian di sana-sini terkena juga tekanan dan pembatasan. Pembredelan majalah Tempo, Detik, dan Editor merupakan tanda-tanda pembatasan yang makin menguat sebagai cermin ketakutan pemerintah terhadap pandangan yang berbeda. Semboyan dan slogan pembangunan di awal Orde Baru (tahun 1970-an) yang menumbuhkan harapan rakyat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik ternyata sulit terca[ai.
Jadi, wajarlah pabila marak gejala-gejala pembebasan di hampir semua bidang kehidupan, termasuk jagat sastra Indonesia. Sambil mengharapkan terwujudnya gagasan seperti itu, sementara ini baru terpantau maraknya penerbitan sastra di kota-kota  besar yang dalam tempo singkat menghasilkan puluhan judul buku puisi, kumpulan cerpen, studi, kritik, dan esai dengan tema dan persoalan yang beragam. Diskusi dan seminar pun digelar di mana-mana dengan semangat, tema, dan topik-topik aktual seputar reformasi termasuk pencarian jati diri kelompok atau daerah.
Barangkali semangat yang bergolah di kalangan mereka adalah kehendak membebaskan publik dari kebekuan bacaan yang selama puluhan tahun dibayangi pelarangan dan pembredelan.Dicelah maraknya penerbitan sastra dari generasi mutakhir itu muncullah fenomena yang menarik dari pengarang terkemuka.Berbagai gejala yang menggemberikan itu harus dipandang penting oleh para peneliti dan kritikus yang berkewajiban mengkaji dan membongkar maknanya.Pengamatan selintas mebuahkan catatan yang kurang menggembirakan karena banyak organisasi atau sanggar kesenian, termasuk komunitas sastra, yang kegiatannya pasang kesenian, temasuk sastra, yang kebanyakan terbilang idak profesional.
Namun, sejumlah komunitas sastra itu jelas mengisyaratkan gairah dan dinamika kehidupan sastra Indonesia yang tampaknya dipercaya sebagai salah satu sarana aktualisasi dan pembebasan publik dari carut-marut kehidupan sosial dan politik.Apabila benar demikan, masalah yang pantas disimak sekarang adalah masa depan sastra Indonesia dengan sejumlah kemungkinan dan harapan.

Masa Depan Sastra Indonesia
Dengan demikian, pengamatan terhadap dinamika sastra Indinesia dewasa ini tidak mungkin hanya didasarkan data yang berkembang marak di Jakarta dan kota-kota besar (provinsi), tetapi perlu diperluas ke berbagai daerah dan bahkan dipertajam ke relung-relung komunitas sastra dan budaya yang marak di mana-mana. Hasilnya adalah data kehidupan dan dinamika sastra Indonesia lokal atau daerah (mikro) yang pada gilirannya pasti relevan dengan pengkajian sastra indonesia secara nasional (makro).
Sementara itu, tercatat komunitas penerbitan sastra yang memperlihatkan trend tersendiridi sampin penerbitan yang sudah lazim berlangsung di Balai Pustaka, Djambatan, Pusat Bahasa, dan lain-lain, yaitu penerbitan sastra di Kelompok Kompas Gramedia (harian Kompas, Penerbit Buku Kompas, Gramedia Pustaka Utama, Grasindo dan Kepustakaan Populer Gramedia).
Sejumlah catatan itu dapat dijadikan rujukan bagi para pengarang pemula yang harus memahami posisi kepengaranagan yang mpan bukan masalah yang sederhana.Pengalaman para pengarang besar telah membuktikan pentingnya kesungguhan, ketekunan, kesabaran, dan keluasan wawasan. Dengan kata lain, karya sastra yang besar bukanlah hasil kerja sepintas lalu. Pemikiran seoerti itu boleh jadi pertentanagna dengan gejala yang berkembang di kalangan pengarang remaja yang ternyata produktiviasnya melesat tinggi justru dalam tempo yang singkat.
Boleh diperkirakan pengkajian satra Indonesia mas depan semakin rumit, bukan hanya karena maraknay penerbitan, melainkan juga karena beragamnya aspirasi dan aliran setelah reformasi Mei 1998. Tentu saja segala penerbitan sastra pascareformasi tidak dapat semata-mata produksi masa itu juga sbab penerbitan sastra berbeda dengan penerbitan pers. Secara teoritis diberlakukan anggapan bahwa setiap karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) ditulis atau diciptakan dalam proses panjang sehingga penerbitannya pasti jauh melewati masa penulisan atau penciptaannya. Jadi, buku-buku yang tertib pascareformasi tidak dapat dipastikan berasal dari naskah yang digarap pada masa itu juga.Dengan demikian, dapat diperhitungkan korelasinya dengan masa sebelum reformasi 1998. Akan tetapi, iklim penerbitan yang bebas setelah reformasi  Mei 1998 itu telah membuka kemungkinan maraknya beragam penerbitan yang pada tahun-tahun sebelumnya sulit dibayangkan terjadi. Di sini lain dapat juga dipertanyakan daya beli masyarakat di tengah krisis ekonomi yang dianggap berkepanjangan.
Bagaimana perkembangannya kemudian memang harus selalu dikejar teknologi komunikasi canggih itu dapat diberdayakan sedemikan rupa sehingga meningkatkan harkat dan martabat kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat sastra yang selama ini selalu menyakini pentingnya sastra dalam pembentukan moral dan karakter bangsa.

Bacaan terpilih
Sepuluh bacaan terpilih berikut ini dimaksudkan sebgaai ilustasi perkenalan bagi pembaca yang kebetulan belum sempat menyimaknya, tau sekedar penyegar bagi siap pun yang telah mengenalnya. Ada yang mewakili pengarang mapan atau senior, dan yang lain mewakili para pengarang mutakhir, termasuk yang remaja.
1.      Aku Ingin Jadi Peluru, Kumpulan Sajak Wiji Thukul
2.      Bumi Manusia, Roman Promedya Ananta Toer (1926-2006)
3.      Celana, Kumpulan Sajak Joko Pinurbo
4.      DeaLova, Novel Dyan Nurnindya
5.      Dekat di Mata Jauh di Hati, Novel Nora Umres
6.      Lukisan Kaligrafi, Kumpulan Cerpen A. Mustofa Bisri
7.      Ragaula, Kumpulan Cerita Triyanto Triwikromo
8.      Saman, Novel Ayu Utami
9.      Sori Gusti, Kumpulan Sajak Darmanto Jatman
10.  Zona@Tsunami, Novel Dewie Sekar


DAFTAR PUSTAKA
Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. PT. Grasindo: Jakarta.

1 komentar: