Krisis
Multidimensi
Krisis multidimensi merupakan
isilah yang pupoler pada dewasa ini sebagaimana sering dimedia masa. Makanya
tidak cukup dijelaskan dalam satu atau dua kalimat, bahkan tidak cukup dalam
sebuah buku, secara umu istilah tersebut menunjuk pada berbagai masalah yang
melilit kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia setelah reformasi Mei
1998 sehingga terjadi kemerotosan dalam hampir segala asek kehidupan. Sumbernya
adalah krisis ekonomi dana politik yang terjadi pada sekitar tahun 1998 seperti
sudah ditulis para ahli dalam puluhan judul buku.
Krisis dimulai dengan gejolak
keuangan yang memburuk pada tahun 1996, padahal baru saja dipuji-puji oleh Bnak
Dunua dan Internasional Monetary (IMF).Nilai tukar rupiah jungkir balik
sehingga banyak bank dan perusahaan yang kolaps.Akibat lebih jauh timbul
ketidakpercayaan masyarakart terhadap pemerintah dibawah Presiden Soeharto yang
telah berkuasa sejak tahun 1967.Ketidakpuasan masyarakatan terhadap kepemimpinan
Soeharto sebenarnya sudah terasa pada awal dekade 1990-an, kerika pada tahun
1993 Soeharto dicalonkan oleh Golkar sebagai presiden.Pada waktu itu Golkar
adalah partai terbesar pendukungan (PDD) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kedudukannya terbilang kukuh
karena sistem politik masa itu tidak membuka peluang sedikit pun terhadap
perbedaan pendepat.Hampir segala aspek kehidupan sosial politik seperti partai,
pers, penerbitan, akademik, organisasi kemasyarakatan dibatasi ruang geraknya.
Pada tahun-tahun pertama era
reformasi telah bermunculan penerbitan tabloid, koran, majalah, dan buku
dimana-mana yang semuanya hendak menyuarakan kebebasan berpendapat. Akan
tetapi, hanya dalam beberapa tahun ternyata banyak penerbitan yang rontok
sehingga hanya penerbitan yang sudah mapanlah masih tetap bertahan.Terlepas
dari kondisi penerbitan yang pasangan surut itu, ternyata sastra Indonesia
tidak pernah berhenti berdenyut. Di akhir dekade 1990-an sastra koran dan
majalah tetap semarak dan hasilnya yang mencolok adalah “gundukan-gundukan
puisi” dari para penyair yang hilang timbul silih berganti. Boleh jadi
penerbitan buku puisis di banyak daerah dapat di pandang sebagai cermin
perlawanan terhadap hegemoni penerbitan yang sudah mapan di Jakarta, seperti
Balai Pustaka, Djambatan, Gramedia, Grasindo, Grafitipers, Pustaka Jaya, Obor
Indonesia, Horison, Kalam, Kompas, Republika, Media Indonesia, dan lain-lain.
Barangkali dapat dikaitkan juga dengan semangat otonomi daerah yang di
sana-sini dipandang berlebihan.
Sastra
Pembebasan
Disini hanya dipergunakan sebgaai
ancar-ancar bahwa sastra pascareformasi dapat dianggap sebagai salah satu jalan
pembebasan terhadap berbagai kekangan dan pembatasan yang terjadi di akhir Orde
Baru (tahun 1990-an).
Sementara itu, kehidupan kampus
(mahasiswa) pun terkekang oleh sejumlah aturan, sedangkan pers dan kesenian di
sana-sini terkena juga tekanan dan pembatasan. Pembredelan majalah Tempo,
Detik, dan Editor merupakan tanda-tanda pembatasan yang makin menguat sebagai
cermin ketakutan pemerintah terhadap pandangan yang berbeda. Semboyan dan
slogan pembangunan di awal Orde Baru (tahun 1970-an) yang menumbuhkan harapan
rakyat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik ternyata sulit terca[ai.
Jadi, wajarlah pabila marak
gejala-gejala pembebasan di hampir semua bidang kehidupan, termasuk jagat
sastra Indonesia. Sambil mengharapkan terwujudnya gagasan seperti itu,
sementara ini baru terpantau maraknya penerbitan sastra di kota-kota
besar yang dalam tempo singkat menghasilkan puluhan judul buku puisi, kumpulan
cerpen, studi, kritik, dan esai dengan tema dan persoalan yang beragam. Diskusi
dan seminar pun digelar di mana-mana dengan semangat, tema, dan topik-topik
aktual seputar reformasi termasuk pencarian jati diri kelompok atau daerah.
Barangkali semangat yang bergolah
di kalangan mereka adalah kehendak membebaskan publik dari kebekuan bacaan yang
selama puluhan tahun dibayangi pelarangan dan pembredelan.Dicelah maraknya
penerbitan sastra dari generasi mutakhir itu muncullah fenomena yang menarik
dari pengarang terkemuka.Berbagai gejala yang menggemberikan itu harus
dipandang penting oleh para peneliti dan kritikus yang berkewajiban mengkaji
dan membongkar maknanya.Pengamatan selintas mebuahkan catatan yang kurang
menggembirakan karena banyak organisasi atau sanggar kesenian, termasuk
komunitas sastra, yang kegiatannya pasang kesenian, temasuk sastra, yang
kebanyakan terbilang idak profesional.
Namun, sejumlah komunitas sastra
itu jelas mengisyaratkan gairah dan dinamika kehidupan sastra Indonesia yang
tampaknya dipercaya sebagai salah satu sarana aktualisasi dan pembebasan publik
dari carut-marut kehidupan sosial dan politik.Apabila benar demikan, masalah
yang pantas disimak sekarang adalah masa depan sastra Indonesia dengan sejumlah
kemungkinan dan harapan.
Masa
Depan Sastra Indonesia
Dengan demikian, pengamatan
terhadap dinamika sastra Indinesia dewasa ini tidak mungkin hanya didasarkan
data yang berkembang marak di Jakarta dan kota-kota besar (provinsi), tetapi
perlu diperluas ke berbagai daerah dan bahkan dipertajam ke relung-relung
komunitas sastra dan budaya yang marak di mana-mana. Hasilnya adalah data
kehidupan dan dinamika sastra Indonesia lokal atau daerah (mikro) yang pada
gilirannya pasti relevan dengan pengkajian sastra indonesia secara nasional
(makro).
Sementara itu, tercatat komunitas
penerbitan sastra yang memperlihatkan trend tersendiridi sampin penerbitan yang
sudah lazim berlangsung di Balai Pustaka, Djambatan, Pusat Bahasa, dan
lain-lain, yaitu penerbitan sastra di Kelompok Kompas Gramedia (harian Kompas,
Penerbit Buku Kompas, Gramedia Pustaka Utama, Grasindo dan Kepustakaan Populer
Gramedia).
Sejumlah catatan itu dapat
dijadikan rujukan bagi para pengarang pemula yang harus memahami posisi
kepengaranagan yang mpan bukan masalah yang sederhana.Pengalaman para pengarang
besar telah membuktikan pentingnya kesungguhan, ketekunan, kesabaran, dan
keluasan wawasan. Dengan kata lain, karya sastra yang besar bukanlah hasil
kerja sepintas lalu. Pemikiran seoerti itu boleh jadi pertentanagna dengan
gejala yang berkembang di kalangan pengarang remaja yang ternyata
produktiviasnya melesat tinggi justru dalam tempo yang singkat.
Boleh diperkirakan pengkajian
satra Indonesia mas depan semakin rumit, bukan hanya karena maraknay
penerbitan, melainkan juga karena beragamnya aspirasi dan aliran setelah
reformasi Mei 1998. Tentu saja segala penerbitan sastra pascareformasi tidak
dapat semata-mata produksi masa itu juga sbab penerbitan sastra berbeda dengan
penerbitan pers. Secara teoritis diberlakukan anggapan bahwa setiap karya
sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) ditulis atau diciptakan dalam proses
panjang sehingga penerbitannya pasti jauh melewati masa penulisan atau
penciptaannya. Jadi, buku-buku yang tertib pascareformasi tidak dapat dipastikan
berasal dari naskah yang digarap pada masa itu juga.Dengan demikian, dapat
diperhitungkan korelasinya dengan masa sebelum reformasi 1998. Akan tetapi,
iklim penerbitan yang bebas setelah reformasi Mei 1998 itu telah membuka
kemungkinan maraknya beragam penerbitan yang pada tahun-tahun sebelumnya sulit
dibayangkan terjadi. Di sini lain dapat juga dipertanyakan daya beli masyarakat
di tengah krisis ekonomi yang dianggap berkepanjangan.
Bagaimana perkembangannya kemudian
memang harus selalu dikejar teknologi komunikasi canggih itu dapat diberdayakan
sedemikan rupa sehingga meningkatkan harkat dan martabat kehidupan masyarakat
Indonesia, termasuk masyarakat sastra yang selama ini selalu menyakini
pentingnya sastra dalam pembentukan moral dan karakter bangsa.
Bacaan
terpilih
Sepuluh bacaan terpilih berikut
ini dimaksudkan sebgaai ilustasi perkenalan bagi pembaca yang kebetulan belum
sempat menyimaknya, tau sekedar penyegar bagi siap pun yang telah mengenalnya.
Ada yang mewakili pengarang mapan atau senior, dan yang lain mewakili para
pengarang mutakhir, termasuk yang remaja.
1.
Aku Ingin Jadi Peluru, Kumpulan Sajak Wiji Thukul
2.
Bumi Manusia, Roman Promedya Ananta Toer (1926-2006)
3.
Celana, Kumpulan Sajak Joko Pinurbo
4.
DeaLova, Novel Dyan Nurnindya
5.
Dekat di Mata Jauh di Hati, Novel Nora Umres
6.
Lukisan Kaligrafi, Kumpulan Cerpen A. Mustofa Bisri
7.
Ragaula, Kumpulan Cerita Triyanto Triwikromo
8.
Saman, Novel Ayu Utami
9.
Sori Gusti, Kumpulan Sajak Darmanto Jatman
10. Zona@Tsunami,
Novel Dewie Sekar
DAFTAR PUSTAKA
Yudiono
K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia. PT. Grasindo: Jakarta.
apa kelebihan dan kelemahan nya kak?
BalasHapus